Translator

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 29 Januari 2011

Sebuah Surat Imajinatif untuk Meyna Puteri Melati (3)

Sebuah Surat Imajinatif untuk Meyna Puteri Melati (3):
Bukan Sekedar Sepeda Oemar Bakri


Mey, sampai sekarang saya masih di Palu, di kota teluk yang kalau malam sangat indah. Bukit dan gunung yang mengelilinginya berisi ribuan lampu rumah penduduk yang tinggal di ketinggian. Semuanya seakan-akan menjadi serombongan kunang-kunang raksasa dan dapat memantulkan cahaya dari lautan biru di bawahnya.
Stress akibat rutinitas sehari-hari dapat langsung terobati bila kamu sempat melihatnya dari ketinggian. Di awal-awal saya di sini, bila jenuh di malam hari, saya sering “lari” ke tempat tinggi yang disebut STQ, hanya untuk menyaksikan kota Palu dan lautnya dari atas. Semarak penjual berbagai makanan dan minuman disepanjang pantai juga bisa menjadi pilihan lain. Jangan tanya sarana hiburan seperti di kota kita. Di sini bioskop tidak satu pun beroperasi. Dulu memang pernah ada tapi lantaran digunakan sebagai tempat transaksi obat-obat terlarang, akhirnya ditutup.

Bila sekarang ditanya oleh teman-teman, apa saya betah di sini, mungkin saya akan bingung menjawabnya. Saya cuma bisa bilang bahwa kalau akhirnya dapat meninggalkan Palu, yang tidak bisa saya lupakan adalah perkawinan antara gunung dan laut dalam satu tatanan topografi. Sangat indah. Kamu kan tahu pesona alam selalu bisa membuatku takjub? Bukan bermaksud mengingatkan masa lalu, tapi kamu kan sempat jadi korbannya? He, he, he. Betapa sedikit malam minggu yang bisa kita lewatkan bersama dulu. Saya akui, saya memang lebih banyak bercumbu dengan keliaran alam bebas saat weekend, dibanding memberimu sedikit ketenangan seperti yang lazim diberikan seorang laki-laki kepada perempuannya. Saya dapat maklum bila akhirnya keputusan kita bersama adalah yang terbaik bagi kita. Maafkan saya….

Tapi, Mey, sampai sekarang masih sering terngiang-ngiang di telingaku suara gemuruh badai yang menerjang puncak-puncak gunung. Angin yang berkecepatan entah berapa knot itu menghantam, seolah-olah ingin membawa serta tubuh-tubuh kami ke lembah yang menganga di bawah. Kerinduan terhadap keadaan pikiran antara hidup dan mati seperti itu masih kadang mengetuk-ngetuk hatiku. Mungkin benar pepatah bahasa Inggris, “The old hunter never dies.” Teman-teman yang sudah berkeluarga pun mengalaminya. Malah ada temanku, seorang dokter, yang sering membawa anak laki-lakinya ke gunung sejak masih umur 5 tahun. Petualangan rupanya bisa menjadi candu juga.

Buktinya, baru-baru ini, kantorku kedatangan tamu yang tidak biasa. Seorang tua dengan sepeda tuanya. Dia membawa rekomendasi yang tidak bisa ditolak kantorku. Datang dengan maksud mendapat pengakuan bahwa dia sudah pernah tiba di Palu dan mungkin sedikit dukungan dana. Pria berumur 50-an tahun itu memang sedang dalam pengembaraannya keliling dunia dengan sepeda yang dirancang khusus. Tidak tanggung-tanggung, jangkauannya sudah mencapai beberapa negara di Asia. Sekarang dia bermaksud nyebrang ke Kalimantan, lalu masuk Malaysia kemudian ke Brunei Darussalam. Dari situ dia menyeberang lagi ke Philipina, via jazirah selatannya yang sekarang lagi kacau-kacaunya akibat peperangan antara tentara pemerintah Philipina dan para Pejuang Moro. Hebat! Sangat sedikit orang yang seberani beliau. Saya selalu kagum pada orang-orang seperti itu. Orang-orang yang bisa merubah sesuatu yang oleh kebanyakan orang hanya dianggap sebagai sebuah mimpi, menjadi kenyataan tidak terbantahkan. Seperti Colombus yang berhasil menyeberangi samudera meski sebelumnya diragukan habis-habisan oleh sebagian besar kalangan kerajaannya. Atau seorang Jagal (Eksekutor) bergelar “Bugsy” yang telah berhasil merubah sebuah gurun di Amerika sana menjadi sebuah kota besar bernama Las Vegas. Orang-orang seperti itu selalu punya keyakinan besar, keberanian heroik, kemampuan survival dan keteguhan dalam memegang prinsip. Sesuatu yang amat jarang menyatu secara simultan dalam diri seseorang. Mereka memiliki satu hal yang tidak dimiliki oleh orang-orang kebanyakan: jiwa petualang.

Tapi kamu jangan pernah menganggap petualangan seperti kebanyakan orang memaknainya. Hanya sebatas mendaki gunung tinggi, memanjat tebing terjal, menelusuri gua-gua bawah tanah, mengarungi jeram-jeram ganas atau membelah ombak-ombak setinggi rumah saja. Seperti yang sering saya dan teman-temanku lakukan dulu. Petualangan sesungguhnya punya cakupan arti yang lebih luas dari sekedar itu. Secara substantif, ia bermula dari sesuatu yang keberadaannya tidak dapat ditolak oleh kita sebagai seorang manusia; rasa ingin tahu. Saat kita bertanya-tanya tentang sesuatu hal, maka saat itulah kita sebenarnya telah memulai sebuah petualangan. Di dalamnya ada semacam teka-teki yang harus dijawab. Ada suasana misterius yang harus dilewati. Semua orang bisa mengalaminya, kapan dan dimana saja. Berkali-kali dalam hidup mereka. Cuma ketertarikan terhadap objek saja yang membuat kita berbeda dalam melakukan petualangan.

Ada seorang pendaki legendaris asal Inggris bernama Chris Bonnington, yang mungkin secara tidak sengaja telah mendefinisikan kata petualangan dengan begitu lugas dan filosofis. Saat pertama mendaki di usia 16 tahun, dia menuliskan pengalamannya itu.
“Ini adalah petualangan. Penuh ketidakpastian. Aku melangkah ke dalam ruang ketidaktahuan. Kusadari sepenuhnya ada bahaya disekitarku – kuakui lebih merupakan bayangan daripada kenyataan, dan sebuah kecintaan terhadap kelengangan liar dari bukit disekitarku.”

Saya sangat suka dengan kata-katanya itu. Sampai-sampai saya hafal di luar kepala. Begitulah keadaan sebenarnya saat seseorang melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang tidak dikenali sebelumnya. Begitulah kenyataan yang dihadapi para detektif saat mencoba mengungkap sebuah kasus atau para ilmuwan saat meneliti sebuah objek. Begitulah yang akan dialami oleh orang tua dengan sepeda tuanya itu. Akan banyak kejutan yang bisa muncul tiba-tiba. Dan begitulah yang kita hadapi semuanya sebagai insan yang masih hidup.

Mey, hidup ini sesungguhnya petualangan. Dibutuhkan lebih banyak keberanian untuk menghadapinya. Tidak cukup hanya dengan bermodalkan ijazah, S3 sekali pun. Kita tidak pernah tahu apa yang akan kita temui di depan sana. Kita cuma dapat senantiasa mempersiapkan diri sebaik yang kita bisa dan mencintai hidup ini dengan bijaksana. Salah satu hal penting yang saya pelajari dari perjalanan-perjalananku dulu adalah resistensi pada keadaan tidak terduga serta pada berbagai pressure psikis terhadap pikiran dan perasaan. Karena sesungguhnya, saat berada dalam kondisi antara hidup dan mati, maka saat itulah kita akan terlihat seperti kita apa adanya. Tidak ada sifat asli yang bisa disembunyikan. Bagaimana cara kamu melewatinya akan menunjukkan siapa dirimu. Ini seperti harta dan kesuksesan yang kamu raih dalam hidup, benar nggak cara mendapatkannya. Nah, kalau kamu dulu sering ngambek bila saya ingin ke gunung atau tebing, maka pertimbangkanlah hal tadi agar kamu tidak lagi menuding orang-orang seperti saya sebagai orang yang tidak punya aturan. Jangan marah ya, saya bukan bermaksud memulai perdebatan tak berkesudahan lagi….

Harus saya akui, saya banyak belajar tentang beberapa hal darimu. Terutama kehalusan perasaan dan tentu saja bermain piano. Saya tidak tahu apa yang berhasil kau petik dari diriku selama kita bersama. Barangkali tidak ada selain belajar bertengkar. Tapi menurut saya, ada sesuatu yang patut kamu rubah dalam dirimu. Itu kalau kamu benarkan. Kalau tidak, saya harap kita tidak perlu berlatih bertengkar lagi. Simpan saja dalam hati.

Ketakutan dan kekhawatiran yang kamu khabarkan baru-baru ini akan menjadi bumerang bila tak dibarengi dengan solusi efektif. Akhirnya ia hanya akan keluar sebagai sebuah keluhan. Memang tidak ada manusia yang tidak punya rasa khawatir dan takut. Tapi kalau hal tersebut yang lantas menjadi sebuah beban, yakin saja, apa yang kamu hadapi sekarang tak akan pernah selesai. Ketakutan sebenarnya hanya punya tempat dalam pikiran kita. Tidak seharusnya berada dalam kenyataan. Orang tua dengan sepeda tuanya tadi juga punya kekhawatiran pada keselamatan dirinya selama perjalanan. “Makanya, sepedaku dibiarkan jelek begini, supaya orang tidak sempat berpikir untuk merompakku,” katanya dalam dialek Melayu yang kental. Beliau punya sebuah solusi untuk mengatasi ketakutannya. Tidak dibiarkan menjadi keluhan atau penghalang niatnya.

Mey, sebelum berangkat, saya sempat berfoto berdua dengan orang tua dengan sepeda tuanya itu. Saya sangat senang melakukannya. Saya pingin dia sukses dalam setiap perjalanannya. Saya percaya pada hal itu. Karena di roda-roda sepeda tua itu saya lihat bara optimisme yang tidak pernah padam. Di steer-nya ada kesiapan untuk menghadapi segala kejutan di setiap daerah yang akan dituju. Maka di setiap jalan yang dilalui, saya yakin, akan banyak keramahan yang datang menyambut. Dia sesungguhnya akan meninggalkan kesan yang dalam bagi orang-orang yang mau bercermin. Bukan sekedar keanehan dari sebuah hal yang tidak lazim. Bukan sekedar kelucuan dari seorang tua yang enerjik. Dan bukan cuma sekedar keunikan dari sebuah sepeda tua yang mungkin hasil modifikasi dari sebuah sepeda kumbang, seperti milik seorang tokoh guru yang menjadi tema sentral dalam sebuah lagu Iwan Fals.

Sekian dulu suratku kali ini, Mey. Insya Allah, saya akan terus mengabarimu kisah-kisah yang saya pikir pantas kamu dengarkan, meski tak kamu minta. Dan saya akan berceritera tentang apa saja yang saya tahu, bila kamu memintanya. Semoga kita, terutama saya, bisa terus bercermin pada apa yang telah kita ucapkan. Tolong ingatkan bila saya lupa.
Palu, 22 April 2005

Judul Asli: Lunch with the Old Man

Baca Juga Postingan Lain:



 
Get Published Blogs - BlogCatalog Blog Directory