Translator

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kamis, 27 Januari 2011

MUSIBAH DI GUNUNG: SIAPA YANG SALAH?

“Climb if you will, but remember that courage and strength are naught without prudence, and that momentary negligence may destroy the happiness of a lifetime. Do nothing in haste, look well to each step, and from beginning think what may be the end.”
(Edward Whymper)

Ada persamaan pemikiran yang mendasar antara penduduk di sekitar kaki Gunung Lompobattang-Bawakaraeng dengan Reinhold Messner dan Edward Whymper, dua orang pendaki gunung legendaris dari dua zaman berbeda. Dalam suatu kesempatan, kita mungkin pernah dianjurkan oleh mereka untuk membayangkan diri kita telah berada di puncak sebelum mendaki gunung tersebut. Katanya supaya kita selamat dalam perjalanan. Sepintas, hal ini mungkin akan menjadi bahan tertawaan yang super lucu bagi orang-orang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan dengan lampu kristal terang-benderang sepanjang malam. Sebagian malah menganggapnya takhyul atau bahkan syirik. Sebagian lagi dengan enteng langsung melakukannya, baik karena takut maupun hanya sekedar untuk menyenangkan tuan rumah yang sudah memberikannya tumpangan nginap gratis.

Sebenarnya, sepintas lalu, untuk melakukan hal tersebut sangatlah mudah. Tidak dibutuhkan biaya, songkolo’ apalagi ayam hitam dan putih. Kita cukup memejamkan mata dan membayangkan berdiri di sebuah tanah sempit bertriangulasi dan berbentuk kerucut yang dikelilingi pohon dan lembah-lembah disekitarnya. Setelah itu, kita bisa membuka mata perlahan-lahan, mengangkat ransel dan hup…mulai berjalan ke arah hutan pinus dengan keyakinan yang mantap.

Pertanyaan besar lantas muncul. Cukupkah itu dijadikan penyelamat dalam area penuh kejutan yang akan kita masuki? Cukupkah itu dijadikan pedoman dalam menghadapi kondisi yang tidak pasti? Cukupkah itu dijadikan teman yang dapat mengobati kegelisahan batin kita? Bila tidak cukup, lantas apa maksud penduduk di kaki gunung menganjurkan kita untuk melakukannya? Saya yakin, mereka pasti punya maksud baik di balik semua itu.

Mari kita ke Eropa dulu. Nasehat “kakek” Whymper di awal tulisan ini, lebih banyak menyentuh beberapa hal paling vital dalam sebuah pendakian (baca : petualangan). Aspek mental nampaknya menjadi pusat perhatiannya - satu hal yang kadang tertutupi oleh euforia sebuah ekspedisi atau pendakian. Gunung (baca: alam) memang tidak pernah berusaha mengenal siapa-siapa yang datang mengunjunginya ; apakah ia pejabat atau bukan, pendaki kawakan atau pemula, laki-laki atau perempuan. Ia adalah sesuatu yang berjalan apa adanya. Fenomena-fenomena alam akan terjadi bila ia membutuhkannya. Dan, menurut Whymper, berusaha “melawan” apa-apa yang terdapat di atas sana bukanlah sesuatu yang bijak. Karena tidak seorang pun mampu menghentikannya, termasuk para pendaki gunung.

Faktor keselamatan secara esensial harus selalu dijadikan sebagai kerangka kerja dalam setiap perjalanan. Di sisi lain, faktor tantangan bukan sesuatu yang harus dihindari, melainkan untuk diakali dan diatasi dengan tetap berpegang pada kerangka kerja keselamatan tadi. Seperti yang diungkapkan oleh P.J. Stahl,

“Seorang pemberani yang sebenarnya bukannya dia yang dengan membabi buta melompat masuk jurang, melainkan dia yang dengan perlahan-lahan dan dengan mata terbuka memasuki jurang itu setelah mengukur dalamnya.”

Collin Mortlock, seorang pemerhati kegiatan alam terbuka, pernah mengajukan teorinya tentang kerangka kerja keselamatan ini. Terdapat tiga unsur penting didalamnya yaitu aman, terampil dan puas (Mortlock, C. (1984). The Adventure Alternative.  Cicerone Press: Cumbria, UK.). Secara komprehensif, pelaku kegiatan petualangan dituntut untuk memperhatikan tiga hal tersebut dalam usaha mencapai keberhasilan dalam perjalanannya. Aman dan terampil sudah jelas dibutuhkan, sementara puas adalah sebuah takaran yang dapat digunakan secara subjektif untuk mengukur pencapain keinginan dalam sebuah pendakian.

Sensasi yang dijanjikan bila menyentuh puncak sebuah gunung memang memikat. Namun muatan victory didalamnya secara tidak sadar dapat menggiring adrenalin ke arah penaklukan terhadap apa saja yang ada dalam pikiran kita. Imperialisme kecil-kecilan pun dapat teraplikasikan ke semua aspek keseharian. Dan itu kurang bagus untuk perkembangan mental seseorang. Orang-orang Tibet di pegunungan Himalaya selalu berteriak “Lhagyello!” tiap kali selamat melewati sebuah puncak atau punggungan tinggi. Artinya, para dewa telah menang. Begitu rendah hati. Mengapa kita tidak mencontohnya? Kesadaran bahwa mendaki gunung bukan pekerjaan nekad sangat sangat penting ditumbuhkan dalam diri setiap pendaki.

Whymper mungkin tidak bermaksud mengada-ada dalam memberikan nasehatnya. Dia bersama kelompoknyalah yang pertama menjejakkan kaki di puncak Matterhorn (4474 m) pada tahun 1865. Dia juga merupakan salah seorang dari dua yang selamat dalam musibah yang terjadi beberapa saat setelah tim tersebut mencapai puncak yang pernah dijadikan iklan sebuah produk pasta gigi itu. Empat orang anggota tim yang terikat dalam satu tali akhirnya gugur, setelah salah seorang terpeleset jatuh dan menarik yang lainnya. Kakek kita ini jugalah yang mempopulerkan fenomena Acute Mountain Sickness (sebuah penyakit mematikan di daerah ketinggian) pada tahun 1892 setelah sebelumnya telah dipaparkan oleh Joseph Da Costa pada1590.

Mendaki gunung adalah seni, dimana para pelakunya bebas mengekspresikan jiwanya ke dalam prosesi pendakian dari awal sampai akhir, lalu membiarkan orang lain menilai “hasil karya”-nya dengan jujur dan terbuka. Mendaki gunung juga merupakan olahraga, tapi tanpa penonton. Kesalahan terbesar bagi seorang pendaki gunung adalah menempatkan puncak sebagai tujuan, apalagi untuk ditonton. Setidaknya itulah yang diisyaratkan Messner pada bagian akhir kata pengantar bukunya yang berjudul ‘All 14 Eight-Thousanders’ :

“I’m not proud of this ‘collection’, which I do not regard as such. I’m not proud of success, though I had sought it for a long time. But I’m proud to have survived.”

“Paman” Messner secara implisit berusaha mengatakan bahwa tujuan akhir pendakian adalah kembali ke rumah dengan selamat. Puncak bukanlah segalanya, meski kenyataannya dialah orang pertama yang berhasil menjejaki seluruh puncak diatas 8000 m yang jumlahnya di bumi cuma empat belas buah itu. Pada tahun 1978, dia juga bersama rekannya, Peter Habeler, melakukan pendakian ke puncak tertinggi di dunia, Everest (8848 m) tanpa bantuan tabung oksigen dan dengan Alpine Push (sebuah taktik pendakian yang mengutamakan efisiensi) pula. Kemudian ia melanjutkannya ke Nanga Parbat (8125 m) dengan bersolo karir dalam waktu hanya 12 hari. Betul-betul prestasi yang mencengangkan. Tapi menurutnya, setelah semua itu dilewatinya, ia hanya berbangga (bersyukur) karena bisa selamat dari bahaya-bahaya di atas sana.

Seseorang yang pergi mendaki gunung atau bertualang dapat diperhadapkan pada dua jenis bahaya yaitu, Bahaya Subyektif dan Bahaya Objektif. Bahaya subjektif adalah bahaya yang bersumber dari dalam diri pendaki tersebut atau dibawah kontrol manusia, seperti pemilihan dan penggunaan yang tepat dari peralatan, keterampilan, mentalitas dsb. Sedang bahaya objektif adalah bahaya yang diluar kontrol manusia atau bersumber dari luar diri pendaki tersebut seperti, kecuraman, badai, binatang buas, gas beracun dsb. Dalam beberapa kasus, dua jenis bahaya ini bisa saling berinteraksi dan menyebabkan keadaan yang tidak kondusif baik bagi pribadi atau pun kelompok.

Jadi, berdasarkan paparan diatas, pendaki gunung memang tidak seharusnya mengenal musim untuk melakukan kegiatannya. Sebab bahaya bisa saja terjadi dimana dan kapan pun, serta bisa menimpa siapa pun. Bahaya akan datang bila kita lalai (momentary negligence may destroy the happiness of a lifetime) atau salah perhitungan. Potensi yang sama besar juga akan terjadi di jalan raya. Bahkan secara statistic, kematian di jalan raya persentasenya mungkin lebih besar dibandingkan sekedar mendaki gunung.

Mari kita kembali lagi ke dalam negeri, ke kaki Lompobattang-Bawakaraeng. Prosesi membayangkan diri kita telah berada di puncak sebelum mendaki, sesungguhnya memuat aspek dasar manajemen pendakian dan juga aspek psikis/religius. Bahwa dengan membayangkan diri kita telah berada di puncak seharusnya kita sudah tahu apa-apa yang kita butuhkan, baik untuk sampai kesana maupun saat turun kembali (from beginning think what may be the end). Di sisi lain, prosesi ini juga bisa digunakan sebagai usaha untuk menghubungkan diri dengan Dzat Yang Maha Kuasa, melepaskan diri dari segala beban, usaha penenangan diri, dan segala aspek relaksasi psikis ketika hendak berangkat (do nothing in haste), sehingga masalah dan bahaya-bahaya bisa dihadapi dengan pikiran yang jernih.

Seperti Whymper dan Messner, penduduk di kaki Lompobattang-Bawakaraeng tidak mengatakan sesuatu yang omong kosong. Mereka amat mengenal dua high-spot paling populer di region Sul-Sel ini. Meski demikian, kenyataan bahwa baru-baru ini terulang lagi musibah diatas sana, tidak harus lantas disimpulkan terjadi karena korban tidak mengindahkan anjuran tersebut secara fisik. Mereka sudah cukup standar untuk melakukan sebuah pendakian. Bahkan, konon, sudah melakukan survey keadaan cuaca secara verbal di kaki gunung. Keputusan untuk turun setelah menilai akan terjadi badai adalah sebuah tindakan yang profesional. Mungkin satu-satunya kebimbangan yang dilakukan adalah meninggalkan semua Carrier diantara pos7-8, saat seorang teman trouble di tengah hantaman badai. Sebuah keputusan yang amat berani, mengingat di dalamnya terdapat segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mempertahankan kondisi. Namun begitulah, terkadang sebuah keputusan yang sulit harus segera diambil dalam kondisi-kondisi terjepit seperti itu.

Bila musibah harus terjadi, itu mungkin sudah menjadi garis Tuhan. Klise memang, namun demikianlah dunia pendakian. Ada konsekuensi di dalamnya. Seperti konsekuensi bila kita keluar berkendaraan di jalan raya. Bedanya, berita kematian di gunung bisa menjadi besar hanya karena tempatnya yang “tidak lazim” bagi kebanyakan dari kita. Selamat Jalan, Kawan. Beristirahatlah di Pelukan Tuhan



Dengan segala simpati,
Untuk saudaraku, Ikshan dan Alawy

(Untuk menghormati etika jurnalistik, saya harus sampaikan bahwa tulisan ini sudah pernah dimuat di harian "Fajar", Makassar awal tahun 2004)

Baca Juga Postingan Lain:



 
Get Published Blogs - BlogCatalog Blog Directory