Translator

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 26 Januari 2011

Sebuah Surat Imajinatif untuk Meyna Puteri Melati (2)

Sebuah Surat Imajinatif untuk Meyna Puteri Melati (2):
MENANAM LOGIKA DI KEBUN RASA



Mey, saya masih di Palu. Tadi subuh baru tiba dari Tinombo, sebuah kota kecil di Jazirah Timur Sulteng. Pada umumnya, orang-orang yang hendak ke Manado via darat akan melewati daerah ini. Jalur trans Sulawesi memang tepat membelah jantung kotanya. Secara administratif, Tinombo berada di bawah naungan
Kab. Parimo, distrik paling ujung di Pantai Timur.
Namanya juga jazirah, pemandangan yang tersaji di sepanjang jalan tentu didominasi oleh pesisir pantai. Kelokan-kelokan jalan terbentuk mengikuti formasi alam tersebut, seolah-olah menembus hutan pohon kelapa yang berjejer rapi. Di sebelah luar, sejauh mata memandang, hanya terlihat lautan biru yang tak bosan-bosannya mengirimkan ombak sampai menyentuh bibir pantai. Perahu nelayan yang terombang-ambing di kejauhan, dapat menjadi takaran besar kecilnya pergerakan air laut. Semuanya seperti mewakili percintaaan segitiga sepanjang zaman antara angin, daratan dan lautan.

Sebenarnya, saya sangat ingin berada disini saat pagi hari supaya dapat menyaksikan semburat merah jingga matahari yang muncul dari balik Teluk Tomini (saya jamin pasti sangat indah). Namun karena rutinitas kerja, saya nampaknya harus melupakan hal itu. Waktu memang telah berhasil mengekangku. Tidak seperti dulu, dimana bila ingin pergi, maka saya akan pergi tanpa pernah mau mempertimbangkan apa-apa atau siapa-siapa, termasuk kamu. Sekarang baru saya mengerti kenapa dulu kamu teramat sering merajuk di akhir pekan.

Sudah begitu lama sejak kesepakatan itu kita buat, saya kembali membayangkan dirimu; bersenda gurau, berbagi ceritera atau malah berdebat sengit. Dan berandai-andai melakukannya bersamamu di pesisir ini. Kamu pasti pengen ikut karena kamu suka pantai. Tidak seperti kalau saya ajak ke gunung. Bawaannya tolakan melulu. Harapan kamu bisa fleksibel menyikapi perbedaan, belum saya buang dari dalam hatiku. Bagi saya, alam, apa pun bentuknya, selalu mampu menyiratkan keindahan. Seandainya kamu mau sedikit mengalami apa yang saya alami dulu di alam bebas, saya yakin kamu akan mengerti.

Tapi saya tahu, saya tidak bisa memaksamu mengikuti langkahku, seperti saya tahu kamu tidak bisa memaksaku mengikuti langkahmu. Saya dulu cuma ingin kamu mengerti hobiku, seperti saya mengerti kegemaranmu akan tuts-tuts piano. Saya akui pesona petualangan di alam bebas telah membuatku lupa pada pesonamu. Tapi mungkin begitulah pendaki gunung yang masih “on air”. Sebenarnya mereka cuma belum bisa lepas dari pesona dalam diri mereka sendiri. Selalu ada kekuatan yang membuat mereka kembali mendaki dan mendaki lagi.

Makanya di Jepang ada lagu kebanggaan para pendaki berjudul “Song of Climber”, yang telah memberikan semacam warning pada siapa saja yang dekat dengan dunia pendakian (petualangan):

“Do not Fall in Love
with Beautiful Girl in the City
Her Feeling and Mind
Like the Weather in the Mountain

Hi, Girl in the City
Do not Fall in Love with Climber
He always Thinking;
The Beauties only Grow in the Mountain.”

Saya tahu kamu tidak perlu kamus untuk menerjemahkannya. Tapi kamu perlu tahu bahwa di ketinggian gunung perubahan cuaca bisa terjadi dengan begitu cepat. Cuaca cerah bisa saja berubah menjadi badai dahsyat hanya dalam hitungan menit. Teramat banyak kejutan yang bisa ditemui. Begitu pulalah perasaan dan pikiran wanita, berubah-ubah secara cepat sesuai aksi yang nampak. Kamu selalu sangat apresiatif mendengar ceriteraku dari “Negeri Di Awan” itu . Tapi lebih sering ngambek bila tahu saya akan berangkat ke sana. Kurang lebih seperti itulah maksud bait pertamanya.

Meski demikian, harus saya akui bahwa saya dahulu memang seperti yang diisyaratkan dalam bait kedua lagu itu. Saya lebih terpesona pada gunung. Pada keindahan padang Edelweis sekaligus kengerian jurang yang menganga; pada kecerahan pagi sekaligus badai dahsyatnya; pada keramahan sekaligus kemarahannya. Saya tidak bisa begitu saja melupakannya saat berada di kota. Tidak bisa menunda waktu saat ingin menemuinya.

Entah bagaimana rasanya cemburu pada sesuatu yang tidak bernyawa dan tak bisa dijangkau. Kamu mungkin alami itu saat bersamaku dulu. Saya tidak tahu bagaimana beratnya kamu lewati itu. Sendirian menghadapi lalu menyimpannya rapat-rapat dalam hati. Saya pasti orang paling egois dalam hidupmu. Pemeran utama yang selalu berada di luar skenariomu. Pribadi yang sangat intim namun tak sempat kau rengkuh sekalipun. Saya rasa, dulu kamu menganggapku seperti itu. Namun saya tidak pernah tahu jawaban tepatnya. Kamu tidak pernah mau memastikannya.

Mey, hidup ini indah bagi siapa yang mengindahkannya dan buruk bagi siapa yang memburukkannya. Saya tidak bermaksud menggurui, tapi kita manusia memang seringkali tidak dapat memprediksi sebuah fenomena. Selalu cenderung mengartikan sesuatu seperti apa yang tampak. Jadi bila yang terlihat itu menyakitkan maka terkungkunglah hati kita dalam kesedihan yang mendalam. Begitu pula sebaliknya. Mirip yang ditamsilkan dalam perjalanan penuh hikmah Nabi Musa bersama Khaidir.

Satu hal yang kamu tidak tahu karena belum pernah ku beritahu adalah bahwa saat berada di hutan lebat dan puncak-puncak membeku itu, saya justru merindukan kelembutanmu, ingin mendengarkan senandung jemarimu di atas tuts-tuts piano. Karena dalam kondisi-kondisi berbahaya di alam bebas yang liar itu, bayangan orang-orang yang saya sayangi (termasuk kamu) saja sebenarnya sudah cukup untuk membuat hatiku menjerit: “Saya harus hidup dan kembali dengan selamat!” Situasi-situasi seperti itu selalu bisa membuatku sadar bahwa saya bagian dirimu. Saat berada jauh di “Negeri Para Dewa” itu selalu mampu membuat hatiku yakin kalau saya lebih mencintaimu dari sebelumnya.

Jadi, kalau bisa, jangan pernah menilai isi buku hanya dengan melihat covernya saja.

Mey, saya tidak pernah menyesali pertemuan atau menangisi perpisahan seperti yang sering diulang dalam lagu-lagu picisan. Karena keduanya sudah menjadi kodrat semua manusia sebagai makhluk sosial. Saya juga tidak mau membuat masa lalu sebagai ganjalan untuk melewati hari ini. Kita tidak pernah salah karena saling mencintai. Kita cuma keliru mengaplikasikannya dalam sikap. Dan itu merupakan sebuah pembelajaran. Jadi, jangan pernah kamu tangisi siapa-siapa, termasuk saya. Sebab hari ini saya ingin memberimu untaian kata yang pernah saya baca pada sebuah poster dalam sebuah figura:

“ada tiga saat yang indah,
mungkin empat bila yang terakhir ini tepat;

saat elang terbang menggaris langit,
saat ular menjalar di bebatuan,
saat perahu layar membelah lautan,
saat saya bersamamu….”




Palu, 2 Maret 2005


Inspired by : A Story of My Friend
“I hope ‘Broken Heart’ was your name….”

Baca Juga Postingan Lain:



 
Get Published Blogs - BlogCatalog Blog Directory