Translator

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 29 Juli 2011

Pencinta dalam Kotak, Alam dalam Pasungan


Hijau-Putih-Biru, kemana pergimu? Aku tak pernah melihatmu selama hampir sepuluh tahun belakangan ini. Padahal kita setiap hari berada pada ruang dan waktu yang sama. Kalau pun kamu muncul, paling cuma sedetik. Itu juga tanpa sapaan hangat. Apakah begitu dahsyatnya kekecewaanmu padaku sehingga untuk sekedar coffe break berdua saja sepertinya sudah tak ada waktu lagi? Padahal itu kita sering lakukan dahulu. Hampir setiap sabtu-minggu malah. Apa aku telah berbuat kesalahan? Tapi apa?

Bicaralah, Hijau-Putih-Biru-ku. Aku bingung. Kamu telah lama sekali berdiam diri. Kamu tidak sedang hendak memecahkan rekor MURI, kan? Disini aku sudah hamper kehilangan akal untuk membuatmu keluar dari persembunyian dengan kehangatan seperti dulu. Tiap saat berdiri menanti dan berharap kamu tiba-tiba muncul dengan tangan terbuka. Menyambutku sebagai sahabat, mengundangku ke rumahmu, menjamuku seperti keluarga, ngopi dan ngobrol panjang lebar tentang berbagai hal. Aku sangat ingin mengapresiasikan lukisan-lukisan yang kamu pajang dengan bingkai di dinding. Aku lebih senang menyebut aliran lukisanmu dengan “Real-Analogism”, kareena pengandaian lukisan-lukisan tersebut banyak kutemukan dalam kehidupan nyata selama sepuluh tahun ini.

Seperti lukisan di sudut ruang tamu rumahmu tentang dua orang yang berjalan pada pagi hari ke arah berlawanan, namun bayangan mereka tetap menunjuk ke arah yang sama. Orang yang berjalan ke barat, bayangannya selalu di depan dan membelakangi kecerahan pagi. Sementara orang yang berjalan ke timur, bayangannya selalu berada di belakang sambil menyambut matahari pagi.

Memang,sungguh teramat banyak manusia yang dipimpin oleh keinginannya sendiri sehingga secara tidak sadar telah menggiring diri mereka sendiri masuk ke dalam golongan orang-orang yang antri menyambut kegelapan hidup. Mereka silau oleh pantulan sinar matahari yang sebenarnya cuma berasal dari belakang mereka. Semuanya akhirnya menjadi semu. Korupsi, kolusi, black conspiracy, ketamakan, menggadai harga diri, jilat sana-sini, sikut kiri-kanan, menjadi suatu budaya dimana aib tak lagi dikenal di dalamnya.

Meski demikian, tidak sedikit pula yang bisa memimpin bayangannya sambil berjalan ke arah kecerahan hidup. Mereka berburu kesilauan yang sebenarnya. Tabah, tawakkal, solider, ikhlas, saling menghargai, menjadi beberapa variabel yang senantiasa mengontrol perjalanan hidupnya.

Lalu di samping lukisan di sudut ruang tamumu itu, ada lukisan lain yang menggambarkan seorang yang berjanggut putih dengan tongkat yang sudah berlumut sedang bersandar kelelahan pada sebuah pohon dekat persimpangan setapak.

Banyak temanku yang bernasib seperti orang berjanggut itu. Bahkan mungkin telah berlaku juga pada diriku. Setiap hari hanya bersandar pada pohon rutinitas sehingga tongkat kebebasan berpikir pun menjadi berlumut. Kebingungan di persimpangan tujuan hidup dalam waktu yang lama. Tanpa sadar telah istirahat di tempat sampai janggut memutih. Stagnan dan tak ada progress ke arah kualitas hidup.

Selain yang dua itu, masih banyak koleksi lukisan di dinding rumahmu. Kamu memang hanya memajangnya, tak pernah bermaksud memamerkannya. Sebuah kebahagiaan berbinar pada dirimu bila ada seseorang yang datang menatap serius pada lukisan-lukisan itu. Sebuah kehangatan akan tersungging pada senyum manismu bila orang yang menatap lukisan-lukisan itu akhirnya mengangguk mengerti dan berpindah lagi pada lukisan yang lain. Kamu memang hanya ingin mereka datang dan mempelajarinya. Tapi kamu tak pernah mengajak, apalagi memaksa agar mereka melakukannya. Semua yang terpajang adalah pilihan. Tidak sedikit juga yang datang ke rumahmu dan berlalu pergi tanpa sempat memandang lukisan-lukisan tersebut. Dan itu sah-sah saja adanya karena merupakan satu pilihan juga.

Padahal, betapa indahnya lukisan-lukisan yang kamu pajang. Selalu menyimpan makna yang dalam. Betapa sayangnya bila dilewatkan. Baru kusadari hal itu setelah kita tak bersama lagi. Hijau-Putih-Biru-ku, apa kamu mempunyai lukisan baru yang belum pernah kulihat? Kalau ada, tolong pajang di tempat yang mudah kulihat. Olehnya itu, sekali lagi kuminta, berhentilah bersembunyi dan berdiam diri!

Sampai kapan kamu akan biarkan aku menanti binar dan senyum manismu? Aku rindu pada semua yang ada padamu. Aku bahkan telah sedikit mencintaimu. Aku tak malu mengakuinya. Karena kamu telah memberi banyak kepadaku tanpa berharap sedikit pun dariku. Bagiku, kamu adalah sahabat, mitra, guru sekaligus buku pintar yang bisa dipercaya. Tidak sekalipun kamu berbohong kepadaku. Lalu, apa salah kalau aku menaruh sedikit cinta padamu? Banyak pun mungkin bukan sebuah kekeliruan.

Ah, aku jadi ingat – saat dulu kutapaki hijaumu sendirian – kamu pernah berkata;
“Kalau awan hitam itu bergulung kemari, berlindunglah di balik batu besar dengan kedamaian di hatimu. Kalau ia sudah pergi, maka keluar dan berjalanlah kembali dengan kedamaian di sekelilingmu.”

Lalu aku lakukan itu suatu saat. Dan tersadarlah aku setelahnya. Kamu nampaknya ingin memberitahu bahwa apa yang ada dalam dirimu adalah kewajaran yang tidak perlu membuat gusar siapa pun yang datang. Karena semua yang terjadi memang sudah seharusnya seperti itu. Kamu ingin mengembalikan semuanya kepadaku. Ada logika pada dirimu yang sangat bergantung pada diriku; bahwa kalau aku berbuat apa, maka kamu akan menjadi apa.

Ya, Hijau-Putih-Biru-ku. Dengan itu aku jadi mengerti sekarang mengapa kamu harus bersembunyi dan berdiam diri selama sepuluh tahun. Bukankah aku sendiri yang telah membuatmu seperti itu? Sengaja atau tidak, aku telah mencampur hijaumu dengan coklat, membuat putihmu jadi kelabu sehingga memburamkan biru cerahmu. Aku telah menggoyahkan rumahmu, mencampakkan lukisan-lukisan yang kukagumi itu ke lantai. Membuatmu menjauh, bahkan terkadang menjadi pembunuh.

Tidak, tidak.., maksudku bukan seperti itu. Jangan tersinggung. Kamu tidak pernah jauh dan bukan pembunuh. Akulah yang menjauhkanmu dan berusaha membunuh diriku sendiri. Secara perlahan tentunya.

Betapa bodohnya aku ini. Sepuluh tahun baru tersadar pada apa yang telah kuperbuat padamu. Maafkan aku karena telah mengedepankan ego. Entah akan butuh berapa tahun untuk mengurai coklat dari hijaumu, kelabu dari putihmu, buram dari biru cerahmu? Tolong katakan. Aku akan berusaha melakukannya sekuat tenagaku.

Ingin rasanya segera kembali berjalan pada hijaumu, berselimut putihmu dan dinaungi birumu. Tidurku pasti akan nyenyak lagi – dengan dengkur yang berirama musik hakiki. Mimpiku senantiasa indah. Dan pada waktu bangun, aku yakin akan menjadi manusia kembali.

Kuharap hal itu terjadi secepat mungkin. Karena aku akan menyebutmu apa bila Hijaumu tak lagi hijau, Putihmu tak lagi putih dan Birumu tak lagi biru?


Manado saat hujan, 2 August 2007, 20.23 Wita   
(Judul Asli: “Dia Mungkin Akan Pulang Hari Ini”)

-Tribute to all participant of Manado Woman Adventure (MWA)-

Baca Juga Postingan Lain:



 
Get Published Blogs - BlogCatalog Blog Directory