Translator

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 06 Maret 2011

Seri 14 Eight Thousanders - Maurice Wilson; Antara Kebodohan dan Keteguhan Hati

Maurice Wilson
Ketika pertama membaca kisah pendakian Maurice Wilson ke Everest pada sebuah bulletin saat masih kuliah, kesimpulan yang tertanam dalam benak saya adalah sebuah kebodohan yang fatal. Hampir 20 tahun saya percaya hanya pada satu kesimpulan tersebut. Namun ketika iseng-iseng melakukan Googling awal tahun ini, satu kesimpulan tadi nampaknya akan memiliki “teman”.

Maurice Wilson dillahirkan di Bradford, Inggris dan dibesarkan dalam suasana hiruk pikuk pabrik woll milik ayahnya. Harapannya untuk bisa bekerja di pabrik bersama ayah dan saudara-saudaranya pupus akibat pecahnya Perang Dunia I. Ia lalu bergabung dengan ketentaran tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-18. Karir militernya sangat cemerlang. Ini dapat dilihat dri penghargaan Military Cross yang diperolehnya karena keberaniannya pada “Battle of Passchendaele”

Karena perang, Wilson terluka. Akibatnya ia mengalami tekanan psikis hebat, kejang-kejang dan kehilangan berat badan setelah perang berakhir. Penyakit tersebut sembuh setelah ia bertemu dengan seorang “misterius” yang yang mengajarinya terapi doa dan berpuasa. Keyakinannya pada kekuatan terapi tersebut membuatnya sangat optimis terhadap segala sesuatu. Dan menyebarkan kekuatan itu ke seluruh dunia dianggapnya menjadi sebuah tugas prioritas.

Ide untuk mendaki Everest pun muncul dalam benaknya - yang terinspirasi oleh kegagalan Mallory dan Irvine (Ekspedisi perintis) pada 1924. Ia yakin bahwa dengan berdoa dan berpuasa seperti yang dilakukannya ketika sakit, Everest akan bisa disentuhnya. Hal ini sekaligus dapat membuktikan pada dunia tentang kebenaran dari keyakinannya. Sesuatu yang dijelaskannya sebagai ‘Tugas yang diberikan kepada saya’.

Awalnya ia merencanakan untuk terbang dengan pesawat kecil ke Tibet, mendaratkannya di bagian atas Everest yang Landai, lalu mendaki sendirian ke puncak. Sebuah rencana yang sangat hebat mengingat terbang melintasi benua adalah upaya penting yang dilakukan penerbang-penerbang terbaik saat itu. Di sisi lain belum satu pun mountaineer (pendaki gunung) terkemuka yang bermaksud mendaki sendirian ke puncak Everest – prestasi yang tidak pernah diraih manusia sampai tahun 1980. Persoalannya, Wilson tidak punya keahlian baik untuk terbang maupun mendaki gunung!

Ia lalu membeli sebuah pesawat kecil Gipsy Moth berusia 3 tahun yang dinamainya sebagai Ever Wrest dan mulai mempelajari dasar-dasar penerbangan. Ia bukan pelajar yang baik dan membuat instrukturnya sangsi Wilson mampu mencapai India. Bagaimanapun, ia akhirnya memperoleh lisensi untuk terbang. Sikap skeptis dari teman-temannya justru menambah keteguhan hatinya untuk berangkat. Ia juga sempat memberitahukan instrukturnya bahwa ia akan menyentuh puncak Everest atau mati dalam upayanya.

Persiapannya untuk pendakian itu sendiri tidak lebih baik dari persiapannya untuk terbang. Dia tidak membawa peralatan khusus dan tidak berusaha mempelajari teknik-teknik pendakian seperti cara menggunakan kapak es atau crampon.  Malahan ia menghabiskan waktu 5 minggu berkeliling di bukit-bukit Snowdonia dan Lake District sebelum ia menyatakan dirinya siap.

Wilson berencana untuk pergi ke Tibet pada bulan April 1933, tapi ditunda ketika Ever Wrest jatuh di sebuah lapangan dekat Bradford. Dia tidak terluka, namun kecelakaan itu menyebabkan kerusakan pada pesawat dan membutuhkan tiga minggu untuk perbaikan. Hal ini menambah perhatian pers secara signifikan dan juga menarik perhatian Kementerian Udara, yang melarang dia melakukan penerbangan.

Ia mengabaikan larangan Kementerian Udara dan akhirnya berangkat pada tanggal 21 Mei. Namun setelah bermain “petak umpet” dengan Kementrian Udara Inggris yang terus berusaha mencegah penerbangan dan memboikot pengisian bahan bakarnya, Wilson akhirnya terhenti di Lalbalu, India. Pesawatnya disita untuk mencegahnya terus terbang. Penerbangan itu sendiri merupakan sesuatu yang mengagumkan pada masa itu.

Setelah mencoba dan gagal mendapatkan izin untuk memasuki Tibet dengan berjalan kaki, Wilson menghabiskan musim dingin di Darjeeling berpuasa dan merencanakan perjalanan gelap ke kaki Everest. Secara kebetulan ia bertemu dengan tiga Sherpa;. Tewang, Rinzing dan Tsering, yang semuanya bekerja sebagai porter pada ekspedisi Everest tahun 1933 yang dipimpin oleh Hugh Ruttledge. Mereka bersedia menemaninya.

Tanggal 21 Maret 1934, Wilson dan tiga orang sherpa menyusup ke darjeeling dengan menyamar sebagai biarawan. Mereka mencapai Biara Rongbuk pada 14 April dan disambut hangat serta diberikan izin untuk menggunakan peralatan pendakian yang ditinggalkan oleh ekspedisi Ruttledge. Ia berada disana selama tiga hari sebelum memulai pendakiannya.

Kebanyakan kisah pendakian Wilson di Everest diketahui dari catatan hariannya. Betul-betul tanpa pengalaman dalam perjalanan di glacier (lidah es), Wilson mengalami kesulitan yang amat sangat di Rongbuk Glacier -  terus menerus kehilangan orientasi dan harus bolak-balik mencari kembali jejaknya sendiri. Kekurang pengalamannya sangat terlihat jelas ketika ia menemukan crampon yang bisa sangat membantunya, tapi justru dibuangnya. Ia menulis dalam catatan hariannya: “Cuaca buruk menghalangi saya, sungguh sebuah kesialan besar.” Ia mulai melakukan perjalanan turun selama 4 hari dan tiba kembali di biara dalam keadaan lelah, snowblind (gangguan penglihatan) dan cedera pada anklenya.

Butuh 18 hari bagi Wilson untuk me-recovery kondisinya sebelum memulai pendakian - kali ini ditemani oleh Tewand dan Rinzing. Dengan pengalaman para sherpa, pendakian jadi lebih cepat. Cuma butuh 3 hari saja bagi mereka untuk sampai di Camp III dekat dasar lekukan di bawah North Col (sebuah celah di punggung Everest). Terkurung di kamp selama beberapa hari oleh cuaca buruk, Wilson masih juga mempertimbangkan kemungkinan rute yang bisa dipanjat dimana ia bisa menaiki lereng es di atas. Ia berkomentar dalam buku hariannya.

‘Tidak mengambil jalan pintas ke Camp V seperti yang diniatkan pertama karena sebaiknya saya  menggunakan jalan saya sendiri ke atas es dan hal tersebut tidak bagus bila sudah terdapat pegangan tangan dan jejak langkah (jika masih ada) ke Camp IV.’

Kenyataan bahwa Wilson berpikir masih terdapat jejak langkah yang melintasi salju beberapa tahun sebelumnya adalah bukti kuat ketidaktahuannya terhadap kondisi gunung es. Dan ketika pada tanggal 21 ia kembali gagal mendaki North Col, kekecewaannya bertambah karena mengetahui bahwa tidak ada bekas tali ataupun langkah yang dia temukan. Hari berikutnya, ia kembali berupaya mendaki Col tersebut. Namun setelah pendakian yang lambat dan 4 hari menginap di tempat terbuka, ia akhirnya dihentikan oleh longsoran salju di ketinggian 22,700 ft seperti yang dialami expedisi tahun 1933.

Setelah ia kembali, para Sherpa memintanya untuk kembali bersama mereka ke biara, tapi ia menolak. Apakah Wilson masih optimis bisa mendaki puncak Everest atau apakah niatnya untuk terus mendaki hanya disebabkan dia telah pasrah akan nasibnya dan lebih baik mati daripada terhina akibat kegagalan bila ia kembali ke Inggris, belakangan hangat diperdebatkan.  Wilson menulis dalam buku hariannya, "ini akan menjadi upaya terakhir, dan saya merasa sukses". Ia berangkat untuk kali terakhir pada tanggal 29 Mei, sendirian. Karena terlalu lemah untuk mencoba mendaki North Col pada hari itu, ia lalu berkemah di dasarnya, beberapa ratus meter di atas tempat Sherpa berkemah.

Keesokan harinya ia tidak melakukan apa-apa. Catatan terakhir di buku hariannya tertanggal 31 Mei dan hanya tertulis; "Off lagi, hari yang indah". Ketika dia tidak pernah kembali dari upaya terakhirnya tersebut, Tewand dan Rinzing lalu meninggalkan gunung. Mereka mencapai Kalimpong di akhir bulan Juli dan memberikan khabar pertama kepada dunia tentang kematian Maurice Wilson.

Tubuh Wilson ditemukan pada tahun 1935, oleh sebuah Ekspedisi Penjajakan untuk Everest yang dipimpin oleh Eric Shipton di kaki North Col, terbaring di sisi dalam salju dan dikelilingi oleh sisa-sisa tenda yang telah tercabik-cabik. Sebuah tas berisi buku hariannya juga ditemukan di dekatnya. Mereka memperkirakan bahwa Wilson meninggal dalam tendanya akibat kelelahan atau kelaparan. Tanggal pasti kematiannya tidak diketahui.


Pada tahun 2003 Thomas Noy menyatakan bahwa Maurice Wilson mungkin telah mencapai puncak Everest, dan meninggal pada saat turun. Bukti utama yang mendukung teori ini berasal dari sebuah wawancara yang dilakukan dengan pendaki Tibet, Noy Gombu, yang mencapai puncak bersama Ekspedisi Cina di tahun 1960. Gombu ingat telah menemukan sisa-sisa sebuah tenda tua di ketinggian 8500 m. Jika hal tersebut benar, berarti kamp ini lebih tinggi dari kamp-kamp yang didirikan oleh ekspedisi Inggris sebelumnya. Noy yakin bahwa tenda tersebut milik Wilson dan menyatakan bahwa Wilson telah mencapai titik yang jauh lebih tinggi dari yang sebelumnya diyakini orang. Teori Noy belum mendapatkan dukungan luas dari komunitas pendaki gunung.

Terdapat banyak skeptisisme dalam hal ini. Amatir tidak berpengalaman seperti Wilson bisa mendaki gunung es 8000-an tanpa bantuan. Chris Bonington, seorang pendaki gunung kawakan, berkata: ". Saya pikir Anda dapat mengatakan dengan pasti bahwa ia tidak akan memiliki kesempatan apa pun." Ahli sejarah pendakian gunung, Jochen Hemmleb,  dan penulis biografi Wilson, Peter Meier, menyatakan bahwa Gombu keliru tentang ketinggian tenda dan menunjukkan bahwa perhitungannya belum bisa dibuktikan oleh anggota lain dari ekspedisi tahun 1960 itu. Mereka juga telah menyatakan bahwa jika tenda di 8500 m memang ada, mungkin saja merupakan peninggalan ekspedisi Soviet yang dirumorkan pernah berlangsung pada tahun 1952. Namun, keberadaan ekspedisi Soviet itu sendiri juga tidak pasti.

Maurice Wilson mungkin saja menjadi legenda buruk di Everest akibat kebodohan dan kenekatannya. Namun hal penting yang bisa direnungkan adalah keteguhan hati yang total dan konsisten terhadap impian yang diinginkan seseorang. Hal ini memang sangat tipis perbedaannya dengan over confidence yang bisa berakibat pada Myopia terhadap potensi diri. Namun bila kita mampu mengurai perbedaan tipis tersebut dengan cermat, saya yakin hal tersebut bisa menjadi kekuatan tak terhingga bagi siapa pun yang melakukannya. Sebab, Tuhan telah memberi manusia kemampuan yang jauh lebih dahsyat dari sekedar yang diketahui selama ini. Kita saja yang belum menjelajahi batas-batas kemampuan manusia. 


“Exploring the Boundaries of Human Abilities”

-Dari berbagai sumber termasuk wikipedia.org-

Baca Juga Postingan Lain:



 
Get Published Blogs - BlogCatalog Blog Directory