Translator

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 04 Maret 2011

Sebuah Surat Imajinatif untuk Meyna Puteri Melati (6)

ORKESTRA TANPA OUTRO

Keselamatan bagimu, bagiku dan orang-orang yang kita sayangi. Semoga perlindungan senantiasa dilimpahkan-Nya kepada kita semua. Amin. Saya minta maaf kalau baru sempat membalas suratmu. Bukan mau beralasan, tapi itu  terjadi karena baru-baru ini saya tertimpa musibah. Demam berdarah yang dulunya cuma sebatas pendengaranku ternyata akhirnya menginvasi trombositku hingga level 60 ribu. Celakanya lagi, obat-obat demam yang saya konsumsi turut mengganggu fungsi faal heparku sehingga membuat SGOT dan SGPT-ku overload. Karena kuatir bisa menjadi hepatitis, maka jadilah saya mendekam di kota kita selama sebulan. Ya, hitung-hitung sekalian liburanlah.

 Sengaja kamu tidak kukhabari. Saya tidak mau menyita atau membuat perhatianmu terbagi. Terlalu egois kalau saya harus membuat ketenteramanmu dengan dia terusik hanya karena sebuah hal yang belum urgen. Nanti ada pikiran tidak-tidak lagi terhadamu. Dan bila tidak memberitahu itu salah dalam pandanganmu, maka berilah saya maafmu, ok?


Mey, saya ingin mengabarimu kembali kalau saya sudah dimutasi lagi dari Bitung ke Manado per bulan April. Padahal saya sudah jatuh cinta pada kota itu dan sudah punya setumpuk rencana untuk cabang baruku tersebut. Tapi mau bilang apa? Semua bidak catur selalu harus digerakkan, pun bila ia “King”-nya, kan? Wewenang yang kumiliki tidak cukup untuk mengatur penempatanku. Dan sebagai pekerja, kita harus siap menerima segala tugas yang diberikan, seberat apa pun itu. Saya yakin,  selalu ada jalan keluar bagi orang-orang yang dengan sepenuh hati berniat menjaga amanah dan menganggap pekerjaan sebagai sarana beribadah, bukan semata-mata ajang untuk mencari uang.

Saya tahu kamu tak akan mencapku “sok suci” karena itu. Sebab secara tidak langsung, sebenarnya kamu yang ajarkan kepadaku untuk senantiasa menjaga amanah dan beribadah dalam segala kebaikan. Dan saya mungkin menjadi “murid” terbaikmu karena tidak pernah menduakan amanahmu selama kita bersama. Tidak ada pengkhianatan walaupun dalam hati. Ah, saya jadi ingat di malam berhujan itu, di saat hatiku terobek-robek bukan karena guruh dan kilat. Melainkan karena tiga kata yang berakhiran tiga buah tanda seru dan diulangi sebanyak tiga kali: “Saya benci kau!!!” Betul, hanya sekali itu saya kehilangan kelembutanmu setelah kita bersama hampir tiga tahun. Biasanya kalau marah, kamu cuma diam atau menangis.

Kalung dari tiga utas prusik berliontin tiga potongan iga sapi liar yang kutemukan mati kedinginan di Lembah Lowe pun tanpa sengaja terjatuh ke tanah (padahal sedianya akan kuberikan padamu). Saking terpana mendengarnya, saya bahkan tak sempat berkata apa-apa saat kamu berbalik dan membanting pintu rumahmu. Sepertinya, tergantung-gantung di ketinggian tebing lebih siap kuhadapi dari yang ini. Masih sempat terasakan dentuman kemurkaan yang begitu dahsyat pada pintu itu, yang sekaligus menghancurkan semua mimpiku selama ini sampai serpihan paling kecil.

Di halte dekat pertigaan rumahmu, setelah kejadian itu, saya berusaha mengerti apa yang kamu lakukan barusan. Namun sampai bus kota tidak ada lagi yang beroperasi, saya tidak mendapat jawabannya. Apa yang salah? Saya sebelumnya toh sudah memberitahumu kalau hendak ke gunung, meski permit yang kamu berikan nampaknya terasa kurang ikhas. Yang jelas, tujuanku kesana bukan untuk pergi mencari cewek lain. Sepanjang  masih bisa menjaga kepercayaan yang kamu berikan, tidak ada masalah, kan? Begitu dulu komitmen kita.

Mungkin kamu merasa saya tidak seperti lelaki lain yang selalu mampu menyediakan waktu untuk perempuannya setiap sabtu malam atau siap mengantar jemput setiap jam kuliah. Mungkin saya yang merasa bahwa perhatian kepada orang-orang terdekat tidak selalu harus ditunjukkan dengan bersama sepanjang hari. Mungkin juga kita berdua yang selalu salah kaprah terhadap pembunuh kecil bernama cinta. Semuanya mungkin saja menjadi penyebab pertikaian.

Jam tiga subuh saya tinggalkan halte bersejarah itu dengan jawaban yang hanya bisa diberi nilai tiga, bukan sepuluh seperti yang  kuharapkan. Saya sadar kalau kini tengah berhadapan dengan sesuatu yang saya kagumi darimu selain kelembutan: sifat keras kepala. Tapi sudahlah, kita toh telah saling memaafkan.

Saya tidak akan bicarakan kenangan itu seandainya dalam suratmu yang terakhir tidak ada kalimat: ”…laki-laki memang seperti itu, gombal dan selalu ingkar janji.” Jelas saya keberatan, dong. Karena kenyataannya, sebagai laki-laki, saya tidak termasuk ke dalam golongan itu selama bersamamu. Mudah-mudahan kamu benarkan itu. Siapa atau berapa pun pendampingmu setelah saya dan bagaimana mereka menjalin hubungan denganmu, sudah bukan menjadi urusanku lagi kecuali jika kamu meminta pendapat. Tapi tolong katakanlah kepadaku kalau kamu salah menulis dalam surat terakhir. Hal itu sangat penting bagiku.

Mey, jangan marah kalau saya bilang kamu terlalu berlebihan dalam menyimpulkan. Karena kalau cuma dari kisah temanmu yang kamu ceritakan di surat itu, saya yakin kamu tidak akan menyamaratakan kaumku. Mendiskreditkan mereka seperti makhluk kejam yang harus dihindari. Pemangsa brutal lagi tidak berperasaan yang perlu dimusuhi. Jangan tersinggung kalau saya katakan bahwa sepertinya kemarahanmu dalam surat itu juga masih dialamatkan kepadaku. Ketahuilah, saya merasa sudah cukup merumitkan hidupmu, tak mau lagi melihatnya bertambah rumit. Dan kalau saling memaafkan belum cukup, katakanlah apalagi yang harus saya lakukan.

Bukan berarti saya tidak bersimpati pada teman cewekmu itu, namun kadang (malah sering) perempuan sendiri yang menurunkan harganya sehingga laki-laki punya kesempatan banyak untuk menawar. Padahal terus terang, kami kebanyakan lebih suka dengan tipe perempuan yang bisa tetap menjaga harganya pada level tertentu. Seperti yang kamu perlihatkan dulu terhadapku.


Secara pribadi, saya tidak mau pikiranmu terkungkung pada apriori klasik mengenai laki-laki, meski tak mau juga kalau kamu mengabaikannya. Belajar secara empirik dan menjadikan itu sebuah pengetahuan, mungkin lebih baik. Jangan terlalu mengikuti ikatan emosional sebagai sesama perempuan bila ada peristiwa seperti yang dialami temanmu dalam suratmu. Saya harap kamu bisa objektif menilai. Sebab kebanyakan perempuan yang gagal mengendalikan perasaan dalam berinteraksi dengan lelaki akan menuai kepedihan. Seperti Monica Lewinski, wanita cerdas tapi tak mampu mengendalikan dirinya. Saya rasa, begitu pun sebaliknya. Tidak sedikit lelaki yang sengsara akibat perbuatan perempuan. Seperti yang telah diperlihatkan oleh Ratu Nefertiti atau Cleopatra terhadap beberapa Raja di zaman dahulu.

Jadi tidak ada gender yang harus dipersalahkan dalam hal ini. Karena pada hakikatnya, di dasar naluri yang terdalam, semua manusia adalah “pembunuh”.


Secara pribadi, saya tidak mau pikiranmu terkungkung pada apriori klasik mengenai laki-laki, meski tak mau juga kalau kamu mengabaikannya. Saya merasa harus mengulangi kalimat itu untuk kedua kalinya. Sebab banyak perempuan yang akhirnya memilih jalan salah sebagai wujud pemberontakan terhadap arogansi lelaki yang sekaligus secara telanjang telah semakin memperjelas ketidakmampuan mereka dalam menggunakan akal sehat; narkoba sebagai pelarian, hugel kiri kanan sebagai pembalasan dendam atau berteman sesama jenis sebagai bentuk “kengerian” terhadap laki-laki.

Ah, secara pribadi, saya tidak mau pikiranmu terkungkung pada apriori klasik mengenai laki-laki, meski tak mau juga kalau kamu mengabaikannya. Saya merasa harus mengulangi kalimat itu untuk ketiga kalinya. Saya kuatir kamu ketemu dengan lelaki seperti itu. Sebab saya masih tetap sahabatmu. Dan sebab saya tidak perlu menggunakan lirik untuk menunjukkan rasa sayang. Serta tidak butuh musik penutup untuk mengakhirinya.

Tribute to My “Dear Boss”
(Santai Jo Kwa!)
Manado, 18 Agustus 2006

Baca Juga Postingan Lain:



 
Get Published Blogs - BlogCatalog Blog Directory