Translator

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 11 Maret 2011

Seri 14 Eight Thousanders - The X-Files; Clara Sumarwati dan Puncak Everest


Clara di Puncak
Googling terkadang membuat perasaan seperti permen Nano-nano, campur aduk. Contohnya, seperti ketika saya menemukan artikel temtang 3 wanita Filipina yang diklaim sebagai “First ASEAN Woman to Climb Mt. Everest!" (lihat link terkait no. 1). Atau pada artikel Perpustakaan Negara Malaysia yang menyatakan bahwa Malaysia adalah Negara ASEAN pertama yang berhasil menyentuh Puncak Everest (lihat link terkait no.2). Sedih, kesal, geram bercampur menjadi satu. Bukan apa-apa, kenyataan yang terjadi sebenarnya tidak seperti itu. 

Untuk urusan mendaki gunung, saya sebenarnya pengagum aliran berpikir “Because it is There” – nya Mallory atau kesimpelan Jerzy Kukuczka dengan statemen lugasnya: “I went to the Mountains and climb them. That’s all.” Senyap dan tanpa embel-embel. Sebuah motivasi murni dari dasar naluri manusia yang terdalam. Tidak ada nafsu imperialisme atau ambisi kompetisi di dalamnya. Namun setelah membaca 2 artikel tadi, saya jadi tergerak membahas masalah ini karena 2 alasan. Pertama, karena - bagi saya - mendaki gunung adalah olah raga tanpa penonton yang butuh kejujuran. Kedua, jujur saja, bagaimanapun, nasionalisme saya terusik!  

Menjadi yang pertama di Everest memang sebuah impian sebagian orang sejak dulu. Sejarah Everest masih dipenuhi oleh “menjadi yang pertama” bahkan setelah Edmund Hillary (Selandia Baru) dan Tenzing Norgay (Nepal) dicatat sebagai manusia pertama yang menyentuh puncaknya dan kembali dengan selamat pada 1953 (saya harus menambahkan kalimat “kembali dengan selamat” karena teka-teki Mallory dan Irvine sebagai yang “pertama” pada 1924, masih terus diselidiki sampai sekarang). Namun kalau mau dibahas disini sekarang rasanya tidak akan cukup muat. 

Dan seperti di belahan bumi lain, para pendaki di Indonesia juga punya keinginan untuk berdiri di puncak-puncak Himalaya, termasuk Everest. Hal itu sudah dapat dilihat di era 80 sampai 90-an pada expedisi-ekspedisi yang dilakukan kelompok-kelompok berorientasi petualangan di nusantara. Salah seorang anak negeri yang tercatat prestasinya adalah Ariyati yang menjadi perempuan Asia pertama yang mencapai puncak Annapurna IV (7535 m) pada 1991. Dan salah satu nama  yang tercatat sebagai anggota tim pada waktu itu adalah Clara Sumarwati. 

Clara jugalah yang kemudian bergabung bersama 5 orang anggota PPGAD (Perkumpulan Pendaki Gunung Angkatan Darat) dan melakukan ekspedisi ke Everest pada 1994. Meski pendakian ini gagal dan cuma mencapai ketinggian 7000 m, hal itu tidak membuat Clara patah semangat dan membuat keinginannya mengibarkan merah-putih di puncak semakin besar. Ia pun mulai mempersiapkan Ekspedisi baik secara teknis maupun non teknis. Dan upayanya itu berbuah hasil ketika ia akhirnya bisa memulai petualangannya bersama rekannya, Gibang Basuki, seorang sersan dua dari Komando Pasukan Khusus, pada 8 Juli 1996.

Ia menyewa 12 orang sherpa selama pendakiannya dan seorang dari China Tibet Mountaineering Association (CTMA), yang berperan sebagai penerjemah sekaligus negosiator. Gibang Basuki sendiri bertindak sebagai pendukung. Mereka memilih rute North Col – North East Ridge di wilayah Nepal. Mereka sempat kembali ke Khatmandu, ibukota Nepal,  dan tertahan seminggu disana akibat jalan ke perbatasan longsor. Meski demikian, ia akhirnya bisa memulai perjalanannya pada 26 Agustus 1996 sekitar pukul 09.00 waktu setempat.

Pendakian ke puncak Everest tidaklah mudah bagi seorang Clara yang terbiasa hidup di negara tropis. Ia sempat terserang batuk dan sakit tenggorokan akibat suhu sedingin minus 350C. Ia sampai susah bernafas. Perempuan kelahiran jogja itu juga sempat terperosok ke jurang dan beberapa kali harus menghentikan perjalanannya akibat angin kencang. Namun kebulatan tekad untuk menggapai puncak Everest mengalahkan segalanya. Satu per satu camp dilaluinya. Crux (bagian sulit) terakhir yang menghadang adalah onggokan salju setinggi 10 meter yang harus dilewati menggunakan tali dan tangga yang sudah agak retak.  

Dan tepat tanggal 26 September 1996, ditemani 5 orang sherpa, Clara berhasil menjejakkan kaki di puncak tertinggi di dunia.

Setelah memandang ke sekeliling dan merasa yakin bahwa ia memang sedang tegak di atap dunia, Clara berkata dalam hati, “Tiba-tiba saya merasa sangat kecil dan rendah.” (Gatra, 1996)

Dengan keberhasilannya itu, Sejumlah piagam dan penghargaan diberikan kepadanya. Antara lain, diangkat menjadi anggota kehormatan oleh Nepal Mountaineering Association. Sedangkan China Mountaineering Association (CMA) dan China Tibet Mountaineering Association (CTMA) memberi selembar sertifikat, yang menandakan bahwa Clara Sumarwati adalah salah seorang pendaki yang berhasil mencapai puncak tertinggi di dunia. Di Indonesia, Clara juga menerima penghargaan Bintang Nararya dari pemerintah RI atas prestasi gemilang yang dicatatnya. 

Namun semua itu nampaknya tidak cukup bagi Clara. Prestasinya disambut dengan ketidakyakinan di tanah air. Hal ini mungkin disebabkabagn oleh bukti foto yang dianngap tidak cukup (sebagian orang mengaitkannya dengan rencana “tim resmi” Indonesia yang akan mendaki Everest pada tahun berikutnya). Apalagi Clara tidak tercatat dalam database Himalaya versi Elizabeth Hawley, yang cukup dipercaya catatan statistiknya dalam pendakian-pendakian di Himalaya. Indonesia nanti dianggap mencapai Everest pada 26 April 1997, mendahului pendaki Malaysia yang sampai pada Mei 1997.

Nah, disinilah letak menariknya persoalan ini diangkat kembali. Dengan data yang disajikan oleh Hawley, “perlombaan” para pendaki perempuan ASEAN ke Everest dimulai lagi di awal 2000-an karena pencapaian Clara dianggap “disputed” alias diperdebatkan. Pencapaian puncak 3 pendaki Filipina pada 2006 lantas dianggap sebagai “First ASEAN Woman to Climb Mt. Everest!"

Beberapa alasan yang menurut saya patut dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
1.    Data Hawley ternyata tidak akurat-akurat amat. Ini bisa dilihat pada tanggal pencapaian puncak “tim resmi” Indonesia. Di situ disebutkan bahwa Asmujiono mencapai puncak pada 11 Oktober 1996 sementara Misirin pada 26 April 1997. Padahal keduanya tergabung dalam Ekspedisi yang sama dan dilakukan pada April 1997 (lihat link terkait no. 3)
2.    Hawley, sengaja atau tidak, dengan gamblang mementahkan pengakuan Nepal Mountaineering Association, China Mountaineering Association (CMA) dan China Tibet Mountaineering Association (CTMA) terhadap keberhasilan Clara.
3.    Hawley, sengaja atau tidak, dengan gamblang meragukan kemampuan dan pengalaman Ang Gyalzen, Chuwang Nima, Dawa Tshering, Gyalzen dan Kaji , sherpa-sherpa yang tercatat menemani Clara ke Puncak.
4.    Clara tercantum  pada 2 situs handal sebagai pemuncak Everest ke-836 dalam ranking yang dibuat oleh adventurestats.com (lihat link terkait no. 4) dan everesthistory.com (lihat link terkait no. 5) sebagai pemuncak ke-88 pada tahun 1996. Tanggal pencapaian Clara di kedua situs tersebut sama; 26 September 1996.
5.    Tanggal pencapaian Clara juga tercatat antara lain di buku-buku Everest karya Walt Unsworth (1999), Everst: Expedition to the Ultimate karya Reinhold Messner (1999) (sumber: Gatra, 1996).

Sekali lagi, faktor utama yang mendorong untuk menulis ini adalah kejujuran dalam sebuah pendakian. Pencapaian Clara boleh saja diperdebatkan (sangat disayangkan justru dimulai oleh bangsa sendiri), namun upaya untuk menguak kebenaran tetap harus dilanjutkan. Saya sangat salut atas investigasi seperti yang dilakukan oleh mbak ambar (lihat link terkait no. 6) yang sangat tajam dan ilmiah. Namun sayangnya banyak upaya-upaya seperti itu dilakukan secara sporadis atau personal, tanpa "organizing" dari pihak yang sengaja dibentuk dan dianggap berwewenang untuk itu. 

Saya punya pikiran positif bahwa Ekspedisi Indonesia pada 1997 dibentuk (dengan segera) juga salah satunya karena alasan keraguan terhadap pencapaian Clara, bukan untuk "merebut". gelarnya sebagai orang ASEAN pertama yang mencapai Everest. Dan mas Asmujiono akan legowo bila ternyata dalam pembuktiannya, Clara memang yang akhirnya diakui untuk gelar tersebut. Saya yakin akan hal itu karena pada foto-foto mas Asmujiono yang “menantang maut” dengan membuka masker Oksigennya di puncak Everest, kesan yang saya tangkap adalah Nasionalisme seorang prjurit handal. Ia seolah-olah ingin memberi tahu kepada dunia bahwa seorang anak bangsa dari negeri tropis, Indonesia, juga bisa tegak berdiri di Everest.

Saya sebenarnya agak telat mengetahui hal ini. Rumor yang saya dengar dari seorang teman bahwa Mbak Clara masuk RSJ  di akhir tahun 1990-an disebabkan oleh ketidakmampuan otak beradaptasi dengan ketinggian Everest ternyata masih patut dipertanyakan (???).

Kalau ada yang mengetahui tentang update terbaru database pendaki ASEAN pertama yang menyentuh Everest, demi kejujuran dalam pendakian gunung, tolong beri komentar. Karena, seperti slogan Film X-Files, The Truth is Out There - kebenaran memang ada di luar sana - bukan dalam tulisan ini.


Link Terkait:


Baca Juga Postingan Lain:



 
Get Published Blogs - BlogCatalog Blog Directory